Semua kandungan nutrisi yang terdapat dalam susu bisa dipenuhi dari makanan. Bahkan, lebih aman.
Artika Yulianti (31 tahun) susah payah menghabiskan segelas susu yang
dibuatkan oleh Alfons, suaminya. Perempuan yang berdomisili di kawasan
Tebet, Jakarta Selatan, itu bahkan harus memencet kedua lubang
hidungnya supaya tidak muntah.
Meskipun mengaku tidak doyan dan sering kembung usai meminumnya,
tekad Tika untuk minum susu memang sangat kuat. Sebab, ia dan suaminya
percaya, susu sapi – apalagi yang khusus kehamilan – sangat penting bagi
pertumbuhan bayi dalam kandungan. “Ibaratnya,” Tika mengatakan, “minum
susu itu investasi untuk si buah hati.”
Hal yang sama juga dirasakan oleh Chelsea (27 tahun), ibu muda yang
sedang hamil empat bulan. Saking terobsesi, perempuan yang tinggal di
Semarang ini pernah sangat merasa bersalah ketika suatu hari terpaksa
hanya bisa minum segelas susu karena stok di rumah sudah habis.
“Harusnya kan minimal dua gelas sehari…”, begitu alasannya, menirukan
sebuah iklan.
Chelsea beranggapan, semua nutrisi yang diperlukan oleh ibu hamil dan
janin sudah ada di dalam susu. “Lagipula, waktu saya bandingkan dengan
merk lain yang sejenis, susu hamil yang saya minum memiliki komposisi
zat gizi yang paling lengkap,” tegasnya.
Jika susu menjadi bahan makanan yang identik dengan kebutuhan ibu
hamil, sekilas memang wajar. Kandungan nutrisi yang terkandung di dalam
susu – terutama susu sapi - seperti kalsium, protein, lemak, vitamin,
dan mineral, dianggap sudah komplit dan perlu bagi kesehatan ibu dan
janin.Khusus bagi ibu hamil, beberapa produsen susu bahkan menambahkan
komposisi ekstra ke dalam produknya, berupa asam folat, kolin, AA, DHA,
dan lain sebagainya. Hal ini dipercaya mampu mencegah bayi lahir dengan
berat badan rendah atau cacat, sekaligus membuatnya pintar sejak
berada dalam kandungan. Itu sebabnya, banyak orang percaya, minum susu
saat hamil merupakan suatu kewajiban.
Menariknya, di saat yang sama, kebutuhan untuk mengonsumsi makanan
bergizi seimbang justru kurang diperhatikan. Artika dan Chelsea,
misalnya, mengaku “biasa-biasa” saja bila pada hari yang sama, mereka
“lupa” mengonsumsi tahu, tempe, ikan, kacang-kacangan, sayur-sayuran,
atau buah-buahan.
Peran iklan
Meskipun memprihatinkan, fenomena semacam ini bisa dimaklumi.
Produsen susu terhitung agresif menjajakan produknya. Baik yang berupa
iklan di televisi, berpromosi melalui fasilitas kesehatan dan petugas
kesehatan, atau pun acara bertajuk seminar ilmiah.
Memang benar, susu tersebut tidak ditawarkan secara langsung kepada
konsumen. Sebagian besar justru diperkenalkan secara tersirat, dengan
cara mengulas manfaat zat-zat nutrisi yang terkandung di dalamnya sambil
didukung testimonial seorang
public figure ternama sebagai modelnya.
Khusus mengenai susu formula untuk bayi, hal ini jelas-jelas
melanggar kode etik internasional yang dicanangkan oleh badan kesehatan
dunia,
World Health Organization (WHO), pada tahun 1981
.
Di Indonesia, kode etik ini juga sudah ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 237 tahun 1997 mengenai pemasaran
produk pengganti ASI.
Bagi susu kehamilan, peraturan khususnya memang belum ada. Namun
banyak kalangan menilai, pesan yang disampaikan dalam sebagian besar
iklan susu berisiko membentuk pola pikir bahwa susu merupakan makanan
ideal yang “wajib” dikonsumsi oleh ibu hamil.
Memang perlu ekstra, tapi…
Siapapun tidak menampik bahwa kehamilan
merupakan peristiwa yang sangat berharga, dan untuk menjalani kehamilan
serta melahirkan bayi yang sehat, ibu harus cukup nutrisi.
Saking pentingnya, Elson M. Haas, MD, dalam bukunya
Staying Healthy with Nutrition,
bahkan mengatakan, kata kunci bagi ibu hamil adalah makan. Ini
disebabkan, “Saat hamil, seorang ibu memerlukan tambahan asupan kalori,
protein, kalsium, zat besi, seng, vitamin B, serta vitamin lain dan
mineral,” tulisnya.
Memang betul, selain makan untuk diri sendiri, ibu juga harus
“memberi makan” si bayi. Namun yang harus diperhatikan, asupan tambahan
itu tidak lantas berarti ibu hamil harus “makan untuk berdua”, alias
mengonsumsi makanan dengan porsi serba dobel.
Menurut Dr Ahmad Mediana, SpOG, ahli kandungan dan kebidanan dari
RSIA Kemang Medical Care, Jakarta, tambahan kalori yang diperlukan oleh
ibu hamil adalah sekitar 300 kkal/hari. Jumlah ini bisa diperoleh dari
segelas jus alpukat tanpa gula, sebuah muffin pisang, atau
sandwich gandum berisi seiris
fillet ikan dan sayuran.
Kebetulan, jumlah kalori ini juga setara dengan dua gelas susu sapi.
Namun, minum sedikitnya dua gelas susu dalam sehari belum menjamin
kebutuhan nutrisi ibu hamil, termasuk ketika susu tersebut sudah
diformulasikan dengan zat-zat tambahan yang diklaim sangat diperlukan
ibu hamil. “Memenuhi kebutuhan nutrisi bukanlah sekadar memasukkan
zat-zat esensial ke dalam tubuh,” tutur Dr Ahmad.
Makanan transisi
Pada hakikatnya, susu merupakan makanan sementara yang diciptakan
Tuhan untuk manusia, ketika gigi dan sistem pencernaannya belum cukup
sempurna.
Ada banyak alasan medis mengapa ASI hanya dianjurkan hingga anak
berusia dua tahun. Menurut Dr Tan Shot Yen, M.Hum, dokter pemerhati
nutrisi, itu disebabkan, mulai usia dua tahun gigi manusia mulai
komplit, enzim-enzim di sepanjang saluran pencernaan telah siap, dan
organ-organ di dalamnya juga sudah kuat untuk mengonsumsi makanan padat.
Sebaliknya, pada saat yang sama, sebagian enzim yang bertugas
mencerna susu sudah tidak bekerja secara optimal lagi, bahkan pensiun.
Salah satunya adalah laktase, enzim pencerna laktosa (zat gula yang
terdapat dalam susu mamalia). Beberapa gejala yang sering muncul saat
minum susu, seperti mual, muntah, perut bergemuruh, kembung, diare, atau
bentuk alergi lain, merupakan sinyal yang menandakan ketidakmampuan
tubuh dalam mencerna laktosa.
“Menipisnya stok enzim laktosa saat manusia beranjak dewasa, pada
hakikatnya merupakan cara alam untuk mengatakan bahwa susu bukan makanan
orang dewasa,” jelas Dr Tan.
Justru menarik kalsium
Banyak ibu hamil yang minum susu karena berharap memperoleh
tambahan kalsium demi mendukung pertumbuhan tulang dan gigi si janin.
Jika asupannya kurang, dikhawatirkan si janin akan mengambil jatah
kalsium dari tulang ibunya. Kekurangan asupan kalsium pada ibu hamil ini
berhubungan erat dengan risiko pre-eklamsia (tekanan darah yang
melonjak secara mendadak) dan hipertensi gestasional (tekanan darah
tinggi yang muncul pada masa kehamilan).
Namun yang perlu diingat, masalah jatah tersebut bukan
berarti ibu hamil harus menambah asupan kalsium secara semena-mena.
“Perlu diketahui,” kata Dr Ahmad, ”berapa pun persediaan kalsium dan zat
nutrisi lain yang dimiliki oleh sang ibu, janin akan menyerap jumlah
yang sama. Jadi, bukan berarti bila ibunya minum susu lebih banyak,
janinnya akan memperoleh kalsium ekstra bagi pertumbuhannya.”
Mekanisme penyerapan kalsium di dalam tubuh memang tidak
sesederhana itu. Menurut Andang Gunawan, ND, ahli terapi nutrisi,
penyerapan kalsium memerlukan bantuan protein. Susu, memang mengandung
kalsium sekaligus protein yang tinggi. Namun, untuk mencerna kalsium,
jumlah protein ini terlalu tinggi sehingga justru menyulitkan proses
penyerapan.
Organ tubuh dapat bekerja dengan baik pada ketika asam basa
darah dan jaringan mempunyai pH 7,35-7,45. Dalam lingkungan cenderung
basa tersebut, tubuh mampu mendetoksifikasi racun dan menyingkirkan
zat-zat pencemaran lainnya.
Tetapi, karena susu bersifat terlalu asam, ketika kalsium yang
terdapat di dalam susu masuk ke dalam darah, secara alamiah tubuh akan
berusaha mengembalikan situasi “abnormal” ini dengan membuang kalsium
dari ginjal, melalui urin. Inilah yang diduga menjadi alasan mengapa
empat negara pengonsumsi susu terbesar di dunia, yaitu Amerika, Swedia,
Denmark, dan Finlandia, justru menduduki peringkat-peringkat teratas
dalam kasus osteoporosis.
Mekanisme alamiah dalam menormalkan kondisi kalsium dalam
darah inilah yang berperan memicu pre-eklamsia dan hipertensi.
Levy,T.E, dalam
Optimal Nutrition for Optimal Health (2001),
mengungkapkan, susu yang sudah melalui proses pasteurisasi - sebagaimana
yang terjadi pada susu komersial - membuat struktur kimia kalsium di
dalamnya menjadi bentuk yang
non bio-available, alias tidak mudah diserap oleh tubuh.
Karena dianggap benda asing yang tidak diperlukan, ia tidakikut
dicerna oleh metabolisme, dan akan mengendap di pembuluh darah. Kondisi
ini menyebabkan timbulnya plak dan pengerasan pembuluh darah, yang
mengakibatkan pembuluh darah menyempit, sehingga tekanan darah melonjak
naik.
Sapi artificial
Andang menilai, efek susu terhadap
kesehatan sebaiknya tidak semata-mata ditinjau secara sepotong-sepotong
dari kandungan nutrisinya saja. Namun, perlu diperhatikan bagaimana
sapi itu diternakkan, apa makanannya, bagaimana susu diproses, dan yang
lebih penting lagi, bagaimana tubuh kita merespon kandungan di
dalamnya.
“Sebelum ada pabrik susu, sapi perah diternakkan secara
alami. Sekarang, untuk memenuhi target produksi, sapi diberi makan
pangan buatan, disuntik hormon supaya cepat besar dan menghasilkan susu
lebih banyak, serta diberi antibiotik dengan harapan terhindar dari
penyakit,” tutur Andang.
Jika susu sapi yang sudah mengalami perubahan “pola makan
dan gaya hidup” ini dikonsumsi, semua zat serta “sampah” metabolismenya
juga berpengaruh besar terhadap sistem metabolisme kita.
Sapi - hewan herbivora – yang diberi pakan
meat bone meal (makanan sapi buatan berbasis daging) juga berisiko membentuk mekanisme penolakan dengan membentuk
prion, senyawa protein asing di dalam tubuhnya. Jenis protein ini, diduga yang menjadi cikal bakal merebaknya penyakit sapi gila (
mad cow).
Selain itu,
bovine growth hormone, hormon pertumbuhan untuk sapi
,
merupakan senyawa kimia yang tidak dapat dipecah di dalam lambung atau
rusak oleh proses pasteurisasi, sehingga akan tetap aktif di dalam
tubuh manusia. Ini sudah diteliti oleh Juskevich dan G. Guyer dalam
penelitiannya yang berjudul
Bovine Growth Hormone: Human Food Safety Evaluation, dan dimuat dalam jurnal Science, Vol. 249, no. 4971 (1990).
Menyisakan sampah metabolisme
Masalah lain mulai muncul saat susu masuk pabrik.
Sebelum dipasarkan, susu dipanaskan dengan suhu tertentu agar kuman
patogen dan berbagai flora di dalamnya mati. Proses yang disebut
pasteurisasi ini terbukti merusak komponen struktur kimia di dalam susu
dan membuat gula laktosa di dalamnya diserap lebih cepat oleh tubuh
(Levy, T.E, dalam
Optimal Nutrition for Optimal Health, 2001).
Lonjakan zat gula di dalam darah – apa pun bentuknya termasuk sukrosa
(gula yang sering ditambahkan dalam produk susu), secara otomatis akan
memerintahkan tubuh untuk mengeluarkan hormon insulin.Pada dasarnya,
insulin ini memang bertugas mulia, yaitu menjaga agar kadar gula darah
di dalam tubuh kita tetap berada pada level yang aman. Namun lonjakan
gula yang tinggi akan membuat produksi insulin meroket, ketika berusaha
menekan kadar gula dan menyimpan hasil olahannya dalam hati.
Sayangnya, daya tampung hati bersifat terbatas. Sementara
bila makanan jenis ini dikonsumsi secara terus-menerus, kelebihan kadar
gula tersebut akan diubah menjadi tumpukan lemak. Sel-sel lemak ini
bersifat menarik asam arakidonat (AA), sebagai bahan baku terbentuknya
eicosanoids, sejenis hormon peradangan. Mekanisme tersebut memicu
timbulnya peradangan di tingkat sel, yang memancing terbentuknya
cytokine,
protein radang yang mampu menembus masuk ke aliran darah, beredar ke
seluruh tubuh, dan menimbulkan bermacam-macam penyakit, mulai dari
menurunnya kekebalan tubuh, obesitas, alergi, hipertensi, diabetes,
gangguan jantung, hingga kanker.
Waspada obesitas
Untuk menghindari komplikasi, ibu hamil dianjurkan memperhatikan
kenaikan berat badan, yang idealnya berkisar 1 hingga 2 kilogram per
bulan. Jumlah itu tidak bisa dipukul rata, bergantung berat badan si ibu
sebelum kehamilan.
“Yang jelas, kenaikan berat badan yang terlalu cepat atau terlalu
banyak perlu diwaspadai, karena itu termasuk salah satu indikasi
terjadinya komplikasi. Obesitas merupakan indikasi nutrisi yang
dikonsumsi tidak seimbang. Selain memicu pre-eklamsia dan diabetes, ibu
hamil yang obesitas juga berpotensi melahirkan bayi besar serta
mengalami obesitas di kemudian hari,” Dr Ahmad menjelaskan.
Cukup dan seimbang
Jika banyak iklan mengatakan bahwa dari ibu yang sehat akan
melahirkan anak yang sehat, itu memang benar karena sistem metabolisme
anak dibentuk sejak berada di dalam kandungan.
Tidak perlu merasa bersalah hamil tanpa minum susu, karena yang
diperlukan oleh ibu hamil adalah nutrisi yang cukup dan seimbang. Gizi
yang baik identik dengan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serta
mineral yang baik. Kriterianya, antara lain, sebagai berikut:
Berupa karbohidrat kompleks dengan nilai indeks glikemik yang
tidak terlalu tinggi sehingga tidak melonjakkan kadar gula dalam darah.
Contoh paling ideal adalah sayuran segar, dikonsumsi mentah. Namun jika
masih terlalu berat meninggalkan nasi, pilih beras merah (lebih baik
lagi yang organik), gandum utuh, atau
oats, daripada beras putih dan tepung-tepungan.
Sumber protein yang baik berasal dari sumber yang tidak
terpolusi hormon dan antibiotik, seperti ayam kampung, ikan laut dalam,
kacang-kacangan, biji-bijian, tempe, tahu, dan sebagainya.
Lemak yang baik berasal dari makanan alami seperti alpukat,
minyak zaitun yang tidak dipanaskan, kemiri, dan lain-lain. Margarin
bukan sumber lemak baik - meskipun berasal dari tanaman, karena
merupakan lemak trans. Begitu juga dengan minyak goreng. Apa pun
jenisnya, setelah dipanaskan lemak dalam minyak akan teroksidasi menjadi
lemak jahat.
Warna merah, kuning, hijau, ungu, putih, dan biru pada
sayur-sayuran dan buah-buahan menunjukkan kandungan nutrisi yang
berbeda-beda. Konsumsi secara seimbang dengan cara memvariasikan
penyajiannya setiap hari.
Nutrisi ekstra pada ibu hamil
Beberapa zat nutrisi esensial yang diperlukan ibu hamil terutama
kalsium, asam folat, zat besi, dan seng, juga bisa dipenuhi dari makanan
sehari-hari. Sumbernya, antara lain, berasal dari:
Meskipun jumlah kandungannya tidak setinggi yang terdapat di
dalam susu, kalsium juga terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Kalsium dalam
tumbuhan bahkan lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Penuhi
asupannya dari kacang-kacangan seperti almond,
hazelnut, kacang
polong, brokoli, bayam, okra, selada air, aprikot, wijen, lentil, dan
masih banyak lagi. Ikan teri, sardin, salmon, dan kerang juga kaya
kalsium, namun cemaran logam berat di dalamnya perlu diwaspadai.
Kalaupun sesekali ingin minum susu, bisa mengonsumsi susu UHT atau
yogurt (plain).
Diperlukan untuk membentuk sel darah merah, pertumbuhan sel, dan mencegah
spina bifida
(terbelahnya ujung bumbung saraf tulang belakang) pada janin.
Idealnya, kebutuhan asam folat ini sudah terpenuhi sejak sebelum
kehamilan. Terdapat pada brokoli, alpukat, bayam, asparagus, kangkung,
dan sayuran berdaun hijau lain, serta beberapa jenis kacang seperti
kacang merah, kacang bogor, kacang kapri, kacang koro, jeruk, dan
lain-lain. Jika merasa perlu, dokter akan menambahkan jumlah asupannya
dengan meresepkan tablet suplemen asam folat.
Mendukung kerja asam folat dalam menyediakan stok sel darah yang
cukup bagi ibu dan janin. Sesungguhnya, hati sapi merupakan sumber
asam folat dan zat besi yang nilainya paling tinggi. Namun karena hati
merupakan organ tempat menyaring racun, ia tidak dianjurkan. Lebih
baik, penuhi dari telur, ayam, salmon, rumput laut, kismis, jamur,
bayam, serta aneka jenis kacang-kacangan dan biji-bijian.
Diperlukan dalam perkembangan sistem kekebalan tubuh janin. Bisa
ditemukan pada makanan yang mengandung zat besi, serta
kerang-kerangan.
Agar efektif
Jangan lupa, bahwa tubuh manusia merupakan rangkaian sistem yang satu
sama lainnya saling berhubungan. Asupan nutrisi tadi hanya bisa
dicerna dengan baik bila kondisinya seimbang.
Kalsium, misalnya, baru bisa diserap dengan baik jika dibarengi
dengan aktivitas dan bantuan dari vitamin D, yang terdapat pada sinar
matahari. Maka, sempatkanlah menggerakkan tubuh, lebih baik lagi bila di
bawah hangatnya mentari pagi. Proses metabolisme tadi juga memerlukan
air, sehingga ibu hamil harus cukup minum air putih. Ukurannya tidak
terpatok 8 gelas sehari, namun dilihat dari warna air seni yang
mendekati jernih.
Kondisi seimbang tidak mencakup makanan secara fisik saja, namun juga
“makanan” bagi jiwa. Jalani kehamilan dengan penuh rasa syukur dan
ikhlas. Ajak suami dan keluarga untuk melewati peristiwa bahagia ini
bersama-sama. Ciptakan kesempatan untuk mengobrol ringan, saling menatap
mesra atau mengobral kalimat “
I love you”, tanpa harus ditemani segelas susu. (N)
Boks:
“Cukup dari makanan sehari-hari”
Mereka hamil dan melahirkan anak yang sehat tanpa mengandalkan susu. Yuk, simak pengalamannya!
Marina (Wiraswasta, Medan)
Waktu hamil Stanley (4 tahun), anak kedua, saya sudah menjadi vegan
(tidak makan sumber pangan hewani sama sekali-red), termasuk telur dan
produk susu. Asupan gizi benar-benar bergantung pada makanan
sehari-hari. Saya menyiasatinya dengan makan sayur-sayuran yang jenisnya
selalu berganti-ganti setiap hari. Warnanya pun saya perhatikan,
sebisa mungkin ada merah, kuning, putih, dan sebagainya, dan diolah
sesegar mungkin.
Yang menarik, dengan asupan “terbatas” semacam ini saya justru
merasakan proses kehamilan yang jauh lebih nyaman dan sehat daripada
kehamilan pertama, saat masih menjadi pemangsa segala, termasuk susu dan
produknya. Kalau dulu sering lemas, mudah lapar, namun juga sering
mual dan muntah, pada kehamilan kedua badan terasa berenergi dan segar
sepanjang hari. Bahkan, seminggu menjelang persalinan saya masih asyik
menyetir mobil ke sana kemari. Padahal, waktu itu saya sudah berumur 42
tahun, lho!
Puji Tuhan, Stanley yang lahir dengan berat badan 3,2 kg, dan panjang 51 cm juga sehat dan tidak mudah alergi.
Mia Sutanto (Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Jakarta)
Berbeda dengan kehamilan pertama, ketika saya masih paranoid dan
mengonsumsi segala jenis produk makanan yang diklaim baik untuk ibu
hamil, pada kehamilan kedua saya lebih melek kesehatan. Salah satunya,
saya paham bahwa apa yang selama ini dipromosikan oleh produsen susu,
sudah bisa diperoleh dari makanan sehari-hari yang lebih alami. Jadi…
ya, cukup makan sehat saja dengan menu yang berganti-ganti.
Untuk menyiasati keinginan ngemil yang manis-manis saat hamil, saya
membuat jus buah segar, tanpa tambahan gula atau pun madu. Ternyata,
dengan cara ini kenaikan berat badan saya tidak sebanyak kehamilan
pertama (20 kilogram), yaitu 15 kilogram. Ascha (sekarang 2,5 tahun)
lahir dengan berat badan yang cukup, yaitu 3,1 kilogram dengan panjang
49 cm. Saat ia lahir, saya juga bisa langsung memberinya Inisiasi
Menyusui Dini (IMD) dan lancar menyusui sampai sekarang.
Mya Dwi Rostika (dosen, Jepang)
Saya sempat bingung waktu teman-teman di Indonesia
bertanya, “Di Jepang kamu minum susu apa?”. Soalnya, waktu hamil Musashi
(1 tahun) saya memang tidak mengonsumsi susu dan suplemen apa pun.
Yang saya tahu, ibu-ibu hamil di Jepang juga tidak minum susu.
Pemberian suplemen oleh dokter pun hanya dilakukan jika ditemukan
indikasi tertentu.
Dokter kandungan saya menganjurkan untuk memperoleh asupan nutrisi
dari makanan, itu pun harus yang alami. Praktis, selama hamil saya tidak
pernah menyentuh makanan instan atau yang berada dalam kemasan,
termasuk biskuit. Camilan andalan saya adalah buah-buahan. Ketika pada
trimester pertama saya mual dan tidak doyan makan, dokter hanya
menganjurkan jus buah segar atau minum air putih.
Kenaikan berat badan selama kehamilan juga sangat diperhatikan.
Sebab, ibu hamil yang obesitas dan bayi yang lahir dengan ukuran besar
dianggap akan menyulitkan persalinan. Berbeda dengan di Indonesia,
operasi
sectio di Jepang hanya boleh dilakukan bila persalinan normal membahayakan ibu atau bayi. (N)
*) Ditulis oleh Dyah Pratitasaridalam Laporan Khusus Majalah NIRMALA, edisi Juli 2010courtesy of NIRMALA Magazine
www.nirmalamagazine.com